Hari ini adalah harinya. Rio sedang berusaha menyakinkan dirinya dengan mengulang kalimat tersebut dalam kepalanya. Pandangannya jauh lurus ke depan melihat teman-temannya yang sedang melakukan berbagai macam ekstrakulikuler. Dia sedang mengamati keadaan seperti seorang sniper dari balkon lantai dua sekolahnya.
“Hei, yo,” suara itu membuyarkan lamunan Rio.
Rio langsung membalikan tubuhnya kepada sumber suara tersebut dan kaget dengan apa yang dia lihat. Irma Cintatia Dewi, gadis pujaan Rio semenjak dia duduk di bangku SMP. Seorang gadis berambut pendek dengan tinggi rata-rata gadis sma, mata yang berwarna coklat, dan berkulit putih. Detak jantungnya sempat terhenti karena kaget. Seperti bidadari.
“Hei juga, Irma,” Rio berusaha bersikap biasa saja seakan Irma Cintatia Dewi hanyalah teman sekelasnya, tidak lebih.
Irma memandang sekeliling. Kelas-kelas sepertinya sudah tidak ada penghuninya. Hanya ada sosok Rio disana. “Rio, sedang apa sendirian disini? Belom pulang?” Tanya Irma sambil memberikan seulas senyum.
“Belum,” jawab Rio singkat lalu dilanjutakan dengan senyum. “Aku hanya menikmati suasana.”
Irma sesaat kaget mendengar Rio berkata seperti itu. Irma tidak pernah berfikir bahwa Rio adalah seseorang yang suka diam tanpa alasan untuk menikmati suasana.
“Kamu sendiri belum pulang, Irma?” Tanya Rio.
“Belum, aku kesini mau ngambil buku yang ketinggalan,” Irma berbalik dan berjalan. “Aku masuk dulu ya.”
Rio hanya melihat punggung Irma sampai akhirnya hilang saat dia masuk ke dalam kelas. Dia masih ragu, apa dia bisa melakukannya? Atau mundur saja? Rio tahu ini lah saatnya. Setelah ini mungkin dia tidak akan diberikan seperti ini kesempatan lagi. Sekarang atau tidak sama sekali, Rio.
Irma akhirnya keluar dari kelas. Rio tanpa berfikir panjang datang menghampirinya.
“Irma,” ucap Rio sambil merogoh sesuatu dari saku celananya. “Kemaren, aku beli tiket Bangkok Traffic Love Story.”
Irma terlihat bingung. Dia sedang menebak-nebak kemana arah pembicaraan ini.
“Aku ada dua tiket, tapi sayang temanku gak bisa nonton,” lanjut Rio melengkapi. “Dari pada mubazir,” Rio menelan ludahnya sebelum ia melanjutkan. “Kamu mau gak nonton bareng aku?”
***
Rio sedang duduk sendiri di depan WC sebuah bioskop. Sesekali dia meminum soft drink-nya. Hari ini bioskop tampak ramai. Orang-orang lalu lalang seperti mobil di per-empatan di jalan raya pada jam-jam sibuk.
“Hei, aku gak lama kan tadi?” Tanya Irma riang lalu duduk di sebelah Rio.
Rio mengangkat kepalanya sedikit lalu tersenyum, “Aku tidak tahu patokan lama atau cepatnya seseorang saat di toilet.”
“Oh.” jawab Irma sambil mengetuk-ngetuk bibirnya menggunakan salah ujung jari telunjuknya. “Gimana kalau kita jalan-jalan dulu?” Ajak Irma sembari mengalihkan pembicaraan.
Hari ini mungkin bukan hari ulang tahun Rio tapi saat ini dia merasa sedang berulang tahun. Rio awalnya takut kalau ini semua akan berakhir cepat, ketakutannya ternyata tidak jadi kenyataan.
“Bagaimana kalau kita duduk-duduk dulu di depan?” Usul Irma. “Kamu suka liat langit kan?”
“Ayo,” ucap Rio sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Baiklah”
***
Rio dan Irma sampai di halaman depan dari mall tersebut. Suasana disana ternyata cukup ramai, banyak juga orang yang duduk di sekitar halaman depan mall tersebut. Keluarga yang sedang bercanda-gurau, remaja-remaja yang berparacan, dan anak-anak kecil yang sedang berlari-lari disana.
Mereka memilih untuk duduk di bawah pohon dimana disana masih sepi. Langit dihiasi oleh lampu-lampu yang digantung, menjadikannya sumber pencahayaan disana. Begitu indah, begitu romantis.
“Rio,” panggil Irma pelan.
“Iya?”
“Apa yang membuat kamu tertarik dengan langit?”
"Kenapa ya?" Rio terdiam sesaat. "Aku tidak punya alasan yang jelas. Aku menyukainya begitu saja."
"Kamu orangnya unik ya," kata Irma pelan.
Rio tertawa kecil. "Aku biasa-biasa aja kok."
Irma pun ikut tertawa.
“Setelah ini, kamu mau kuliah dimana?” Rio berusaha mengganti topik.
“Hmm.” Irma berpikir sambil menatap langit. Dia bertopang dagu dan salah satu ujung jari telunjuk Irma mengetuk-ngetuk bibirnya. “Aku sih pengennya Psikologi UI. Kamu sendiri mau kemana?”
“Kalau aku sendiri pengen ngelanjutin di Fikom, Unpad.”
“Wah, kamu pengen ngeganti Putra Nababan ya?” Irma memperhatikan Rio dengan seksama.
Rio langsung memalingkan muka. Dia tidak sanggup melihat Irma langsung di matanya.
“Bukan ya?” Irma masih penasaran. “Kalau begitu, Andy F. Noya?”
“Sebenarnya, aku udah bosen dengan IPA,” Rio cepat-cepat membahkan, “tapi tidak menutup kemungkinan juga.”
“Dasar!” Cibir Irma singkat sambil menyipitkan matanya.
Rio tak bisa menahan tawa saat melihat Irma mencibirnya. Dialah gadis yang Rio sukai selama enam tahun tanpa alasan yang jelas.
***
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar