Satu tahun lebih, hampir dua tahun bahkan semuanya terjalin. Tapi kenapa, kenapa dia nggak pernah mengerti. Mengerti apa yang aku butuhkan, seperti yang mungkin kamu ketahui. Mungkin kamu juga tahu, karena sempat merasakan hal yang sama. Mungkin karena kita sama-sama merasakan hal yang sama, sungguh menyenangkan untuk kita saling berbagi. Berbagi apa yang buruk dan menggantikannya dengan berbagai kesenangan untuk mengobati diri. Dan bahkan langkah ini terlalu besar, menyerap waktu hingga mulai teralihkan dari mereka. Mungkin aku menganggapnya sebagai suatu kesenangan, kegembiraan ketika tanpa adanya perhatiannya. Tapi yang aku rasa, kamu menganggapnya terlalu serius, dan terlalu larut. Berbagai kata terangkai kalimat yang aku rasa agak berlebihan, tapi jujur terasa memerah pipi ini membaca semuanya. Senang.
Sampai hari itu, saat kamu menceritakan tentangnya, tentang kekurangan dan masalah kalian. Deg. Aku merasa jatuh. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku merasakan, kalau kamu itu dia, dan dia berbicara seperti itu, menceritakan berbagai kekuranganku, berbagai permasalahan, dan seolah semua masalah itu muncul dari aku seorang. Itu perih. Sakit sekali membayangkan dia melakukan hal yang sama seperti kamu. Atau mungkin melakukan hal yang sama, seperti yang kita lakukan. Atau bahkan mungkin jauh lebih parah lagi, dalam menggunakan perasaan. Meski mungkin aku, tidak menggunakan itu. ‘What comes around goes around’ itu sangat menampar. Apa yang pernah kamu lakukan, mungkin kembali sama kamu, mungkin lebih kecil, mungkin sama, mungkin juga jauh lebih besar. Takut? Ya. Hilang semua kesenangan sesaat itu, semuanya mungkin hanya akan menjadi malapetaka kemudian. Lebih-lebih lagi tersadar, meski mungkin bukan untuk maupun dengan perasaan, hal tersebut pasti melukai mereka. Mencari tempat berlari. Merasa jadi yang tersakiti, merasa jadi yang paling merana. Padahal tanpa sadar malah menjadi monster yang mengerikan.
Mulai melakukan perubahan. Tapi semua akan sulit jika hanya aku sendiri. Begitupun kamu juga harus melakukan itu. Bukan hanya ketika dengan aku, tapi jangan sampai jatuh ke lubang yang sama. Mereka terlalu berharga. Kalaupun harus berpisah, biarlah mereka yang menebang pohon itu, segalanya akan jauh lebih indah di kemudian hari bila kita jadi pihak yang merana secara nyata, bukan yang dibuat, bukan hanya karena merasa. Mungkin kamu juga sadar dengan perubahan itu, tapi tetap menolak. Masih merasa benar. Mungkin dari saat itu, hingga detik ini, aku adalah sebuah makhluk hipokrit yang berlari-lari di pikiranmu, dan mengesalkan, secara kasar biar kusingkat ‘munafik’. Aku tak peduli saat itu, mungkin pikiran buruk tentang aku yang akan terekam di memori kamu. Asalkan berhenti, asalkan pribadi menyadari betapa berharganya mutiara di sisi, yang selalu setia, meski mungkin hitam, mungkin kusam, tapi black pearl sungguhlah sesuatu yang langka dan berharga, terlebih lagi mungkin itu tulus dan murni. Sadarkah? Aku tidak tahu. Tapi setiap kata-kata yang kamu buat, masihlah mengenai sesuatu yang mungkin terjadi diantara kita. Cukup. Aku terganggu. Berhentilah. Aku berusaha untuk aku, dan semoga saja kamu juga bisa memahami apa yang aku rasakan. Perih untuk tahu, dia milikmu yang kini mungkin mengutuki aku, padahal kesan baik dulu terekam di memorinya. Perih untuk tahu, semakin sulit bagiku untuk memiliki teman yang baik, tanpa takut terbersit hal yang tidak diinginkan. Tapi, aku tak peduli. Aku tahu apa yang mungkin kamu rasa, meski jujur aku tidak merasakannya. Cukuplah aku yang lakukan. Berhenti disini.
Aku ingat, saat itu kemudian kamu memaksa melakukan sesuatu untuk aku, yang bahkan ketika aku meminta dia milikku, dia enggan melakukannya. Itu sakit. Itu perih. Saat itu aku menangis. Sungguh aku menangis. Kamu tahu itu sakit, saat orang yang diharapkan tidak bisa, kenapa harus orang lain? Aku tahu disitu, kamu belum benar-benar berhenti. Sampai pada akhirnya aku bertanya ‘Salahkah memiliki perasaan untuk yang lain, sedangkan kita sedang dimiliki?’, aku masih ingat kamu menjawab ‘Tidak, itu sesuatu yang tidak mungkin dipungkiri.’. Lalu aku mulai menceritakan lelaki itu. Yang diakui memang banyak lebihnya. Banyak yang terpikat. Dan aku mulai bermain api disitu, mencoba mengepul-ngepulkan asap tebal supaya kamu percaya, memang tidak pernah ada perasaan itu, dan semuanya harus berhenti disini. Mungkin terdengar ingin menang sendiri. Dan jauh lebih menyakitkan lagi, bukan hanya kamu dan aku ternyata. Seluruh lingkungan di sekitarmu pun ikut berhenti. Sungguhlah, demi apapun di dunia ini, semua hal itu benar-benar menyakitkan. Kehilangan teman, kehilangan galaksiku sendiri.
Saat masih kecil, aku terbiasa bermain dengan lawan jenis. Aku jauh lebih nyaman bermain dengan lawan jenis. Mereka seru, fleksibel dan tidak terlalu merepotkan berbagai hal yang tidak penting, mereka tidak akan menghukummu dengan tatapan tajam ketika kamu menggunakan kaos oblong butut, mereka juga tidak akan menceramahimu tentang apa yang kamu suka sedang mereka tidak, mereka tidak akan berbisik-bisik di belakangmu ketika mungkin pakaian yang kamu pakai mungkin terlalu berlebihan. Tapi satu kenyataan, sedikit sekali persahabatan antara lelaki dan wanita yang mungkin murni, tanpa ada perasaan. Dan semuanya bisa porak-poranda ketika perasaan itu muncul. Satu-satunya yang paling indah, ketika memang perasaan itu tidak mungkin, persahabatan mungkin akan terjalin sangat kental.
Cukuplah cerita itu sampai disini. Berbahagialah semuanya. Cukuplah semua perih, berhenti disini. Sebuah akhir menyenangkan dan cerita mereka pun bahagia selamanya. Aku dengan dia milikku, kamu dengan dia milikmu. Masing-masing. Semoga mungkin masih ada memori baik tentangku yang terekam di pikiranmu. Cukuplah semua, asal yang tidak seharusnya telah berhenti.
Salam,
AdiraBella